TRANSMIGRASI
Awal Mula Kedatangan Transmigran Jawa ke Lampung
Di masa lalu, Lampung termasuk salah satu provinsi yang dijadikan tujuan perpindahan penduduk dari Jawa. Gelombang kedatangan penduduk dimulai pada 1905-an oleh Pemerintah Hindia Belanda dan dinamakan kolonisasi.
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung (Unila), Wakidi, menjelaskan, gelombang pertama kolonisasi itu berasal dari Bagelan yang berada di Keresidenan Kedu (sekarang kecamatan di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah).
Menurut Wakidi, ihwal kolonisasi berdasarkan tingkat kepadatan penduduk di Pulau Jawa. Pada awal abad XX, Pulau Jawa terbagi menjadi 21 karesidenan dengan kepadatan penduduk rata-rata 231 jiwa setiap kilometer per segi. Sedangkan, rata-rata kepadatan penduduk Kedu telah mencapai 425 jiwa per kilometer per segi.
”Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah Hindia Belanda membuat kebijakan pemindahan penduduk di dalam Karesidenan Kedu pada November 1905. Sekira 155 kepala keluarga diberangkatkan ke Keresidenan Lampung. Tetapi hari apa dan tanggal berapa, itu yang masih menjadi tanda tanya. Beberapa buletin Belanda cuma menyebutkan bulannya saja," jelasnya.
Kolonisasi dari Kedu hingga Lampung dipimpin langsung Asisten Residen Banyumas, HG Heyting. Ia juga merupakan pejabat Pemerintahan Hindia Belanda. Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Lampung, 155 KK yang mengikuti kolonisasi terdiri dari 815 jiwa.
Waktu perjalanan menuju Lampung tidak sebentar. Sebab, sarana maupun teknologi transportasi saat itu masih terbatas. Rombongan memulai perjalanan menumpang kereta api menuju Batavia (sekarang Jakarta) kemudian menempuh jalur laut dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Pelabuhan Telukbetung menggunakan kapal uap.
”Dulu itu Pelabuhan Lampung di Telukbetung. Lokasi sekarang di Gudang Lelang, Sukaraja. Pelabuhan Panjang yang ada sekarang baru dibuka tahun 1912,” terangnya.
Sebenarnya, rombongan kolonisasi sempat menolak dipindah ke Lampung. Alasannya, saat itu muncul pemberitaan miring di media massa tentang provinsi yang berada di ujung selatan Sumatera itu.
”Dulu (sebelum berangkat), mereka takut dimakan gajah dan harimau. Dua binatang itu terkenal karena pemberitaan buletin-buletin Belanda. Kalau datang ke Lampung, bisa dimakan gajah sama harimau,” ucap pria yang tesisnya mengulas tentang kolonisasi itu.
Untuk membuat nyaman, para kolonis mengusulkan agar tempat tinggal baru mereka dinamakan dengan nama wilayah yang sebelumnya mereka tinggali di Jawa. Usul itu pun disetujui Pemerintah Hindia Belanda.
”Oleh sebab itu, banyak nama daerah di Lampung yang sama dengan nama daerah di Pulau Jawa. Dari situ bisa kita perkirakan asal muasal penduduk di situ, misalnya Pekalongan, Way Jepara, ataupun Bagelan," terangnya.
Burhanuddin, salah seorang pengurus Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL), mengatakan, kedatangan rombongan kolonisasi ke wilayah-wilayah yang sepi penduduk di Lampung kala sedikit banyak menyebabkan terjadinya percampuran budaya.
“Pada dasarnya karakternya memang berbeda. Namun, tidak menjadi masalah yang berarti," katanya.
Perkenalan dengan budaya baru, tambah Burhanuddin, justru makin memperkaya budaya lokal Lampung sendiri. Akulturasi budaya terjadi dengan sendirinya.
“Secara pribadi, saya bisa berbahasa Jawa, bahkan yang halus sekali pun. Begitu juga dengan orang Lampung lainnya. Semua terjadi begitu saja karena pergaulan,” tuturnya.
0 komentar:
Posting Komentar